Ditulis oleh: Dr. Husna Nashihin, M.Pd.I.
Dosen Pasca Sarjana INISNU Temanggung
Secara internasional, Indonesia menjadi Negara dengan tingkat keberagaman tertinggi di lingkungan masyarakat Asia Tenggara, disamping juga Singapura dan Malaysia. Oleh sebab itu, pada era tahun 1930 dan 1940, ketiga negara ini dipandang sebagai lokus klasik pluralisme dunia. Sejarah telah membuktikan, berdirinya Negara Indonesia ditengah keberagaman merupakan wujud komitmen kebangsaan yang tinggi.
Kondisi sosio-kultural masyarakat yang semakin beragam tentunya akan berbanding lurus dengan tingginya potensi konflik horizontal yang terjadi ditengah masyarakat. Indonesia sebagai negara dengan tingkat pluralitas tertinggi di dunia patut mempertimbangkan itu, sehingga langkah pencegahan dapat dilakukan. Bahkan potensi konflik antar beragama tersebut secara nyata juga sudah terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Sebagai contohnya, kasus penolakan perayaan paskah di Gunung Kidul pada tahun 2014, pembakaran gereja HKI di Aceh Singkil pada tahun 2015, serta kasus konflik antar beragama terbesar yang merenggut banyak nyawa seperti yang terjadi di Ambon dan Poso.
Langkah pencegahan terhadap konflik antar beragama di Indonesia salah satunya dapat digali melalui pengkajian best practice moderasi beragama yang dilakukan oleh pondok pesantren. Sebagai lembaga pendidikan indigeneous, pondok pesantren memiliki eksistensi ditengah masyarakat karena besarnya fungsi dan manfaat yang diberikan bagi masyarakat. Meskipun demikian, eksistensi pondok pesantren memiliki tantangan yang besar, apalagi bagi pondok pesantren yang berada ditengah masyarakat non muslim. Salah satunya Pondok Pesantren Kauman. Pondok Pesantren Kauman terletak di Desa Karangturi yang juga terkenal dengan sebutan“kampung pecinan”. Praktik baik ini juga membuktikan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang punuh dengan toleransi dan saling menghargai atas perbedaan.
Saat ini Pondok Pesantren Kauman dipimpin oleh Abah Zaim, cucu dari simbah Kyai Ma’shum, tepatnya keturunan terakhir dari KH. Ahmad Syakir serta Nyai Faisah. Secara historis, keberadaan Pondok Pesantren Kauman yang memiliki kekhasan budaya Cina sangat berkaitan dengan nenek moyang Abah Zaim merupakan keturunan Arab yang menikah dengan keturunan Tionghoa. Keberadaan Pondok Pesantren Kauman sebagai pondok pesantren bercirikan budaya Tionghoa jika ditelisik secara mendalam sangat dipengaruhi oleh faktor hereditas atau keturunan. Namun demikian, dengan berkembangnya etnis tionghoa disekitar pondok pesantren, ahirnya juga menyebabkan adanya faktor lingkungan masyarakat sekitar yang mempengaruhi eksistensi budaya tionghoa di pondok pesantren ini. Eksistensi budaya etnis tionghoa di Pondok Pesantren Kauman ini juga mengaskan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menghargai tradisi dan budaya sebagai kekayaan.
Secara geografis, kekhasan Pondok Pesantren Lasem sebagai pondok pesantren bernuansa etnis tionghoa sangat dipengaruhi oleh Kecamatan Lasem yang menjadi kecamatan dengan tingkat keberagaman tertinggi jika dibandingkan kecamatan lainnya di wilayah Rembang. Berdasarkan data Dindukcapil, terdapat 49.276 orang berkeagamaan Islam di Kecamatan Lasem, diikuti dengan 1.008 orang berkeagamaan Kristen, 590 orang berkeagamaan Katholik, 2 orang berkeagamaan Hindu, 161 orang berkeagamaan Budha, 42 orang berkeagamaan Konghuchu, serta 18 orang lainnya berkeagamaan penghayat kepercayaan. Meskipun mayoritas pemeluk agama masih didominasi muslim, namun keberagaman agama di Kecamatan Lasem terlihat dengan adanya agama lain seperti pemeluk agama Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghuchu, serta pemeluk penghayat kepercayaan.
Praktik moderasi beragama antara Pondok Pesantren Kauman dengan masyarakat etnis Tionghoa tercermin secara fisik dalam akulturasi bangunan Jawa-Arab-Cina, serta secara non fisik dalam penanaman nilai Islam rahmatan lil ‘alamin. Nilai-nilai moderasi beragama antara Pondok Pesantren Kauman dengan masyarakat etnis Tionghoa antara lain infitah (inklusif), tawassuth (moderat), musawah (persamaan), dan tawazun (seimbang).